Pro dan kontra masih mengiringi rencana penyederhanaan nilai (redenominasi) mata uang rupiah.
Pihak yang mendukung menilai, redenominasi tidak saja positif bagi penyederhanaan akuntansi, namun juga bagus bagi pencitraan rupiah di dunia internasional.
Sedangkan yang kontra berpendapat saat ini belum saatnya Indonesia melakukan kebijakan itu lantaran berpotensi menyulitkan dunia usaha.
Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad H Wibowo mengatakan, nilai tukar rupiah saat ini memang sudah sangat besar.
Sebagi gambaran, 1 dolar Amerika Serikat (AS) sama dengan Rp9.680. ‘’Nilai tukar yang besar kurang bertaji. Dengan redenominasi, rupiah terlihat lebih bergengsi,’’ ujar Dradjad di Jakarta, Kamis (24/1).
Menurut dia, gengsi nilai tukar rupiah tidak sekadar untuk gagah-gagahan, namun juga berpengaruh pada persepsi dunia internasional terhadap stabilitas nilai tukar.
‘’Nilai tukar yang Rp9.000 (per dolar AS) mencitrakan rupiah sebagai mata uang yang kurang stabil. Padahal, persepsi atas stabilitas nilai tukar ini sangat penting,’’ kata ekonom senior yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Pada acara kick off konsultasi publik perubahan harga rupiah ‘’Redenominasi Bukan Sanering’’ di Jakarta Rabu (23/1) lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan bahwa salah satu alasan perlunya redenominasi adalah nilai tukar rupiah yang sangat rendah. ‘’Nilai tukar kita ini terendah kedua di ASEAN,’’ ujarnya.
Merujuk kurs tengah Bank Indonesia (BI) per 21 Januari 2013 lalu, nilai tukar rupiah tercatat Rp9.680 per dolar AS. Hanya ada satu mata uang, yakni dong Vietnam yang nilai tukarnya lebih rendah.
Yaitu 20.843 dong per dolar AS. Sedangkan mata uang negara ASEAN lain jauh lebih kuat dibandingkan rupiah.
Padahal, kata Agus, dari sisi ukuran ekonomi Indonesia adalah yang terbesar di ASEAN. Hal itu tecermin dari besaran produk domestik bruto (PDB) RI yang mencapai 845,6 miliar dolar AS. Angka itu jauh di atas negara lain seperti Thailand 345,65 miliar dolar AS, Malaysia 278,68 miliar dolar AS, Singapura 259,85 miliar dolar AS, dan Filipina 213,12 miliar dolar AS.
‘’Jadi nilai tukar rupiah saat ini tidak mencerminkan kondisi fundamental ekonomi kita yang baik,’’ jelas mantan Dirut Bank Mandiri tersebut.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution menambahkan, nilai tukar merupakan salah satu parameter yang dilihat oleh orang asing ketika datang ke Indonesia. Karena itu, ketika ada wisawatan asing menukarkan mata uang mereka ke rupiah, persepsi terhadap Indonesia akan langsung terbentuk.
‘’Begitu dia belanja atau membayar taksi dan mendengar harganya (atau tarifnya, red), langsung pandangan atas Indonesia jatuh. Sebab, mereka berhadapan dengan harga yang beratus-ratus ribu,’’ paparnya.
Dalam skema redenominasi yang disusun Kemenkeu dan BI, angka pecahan rupiah akan disederhanakan dengan menghilangkan tiga angka nol di belakang nilai mata uang. Misalnya duit senilai Rp1.000 nanti setelah redenominasi akan menjadi Rp1.
Sedangkan uang Rp100.000 akan menjadi Rp100. Meski angka nominalnya berbeda, namun nilai uangnya tetap sama. Misalnya harga baju yang selama ini biasa ditulis dengan angka Rp130.000, Rp250.000, atau Rp400.000, nanti setelah redenominasi cukup ditulis Rp130, Rp250, atau Rp400. ‘Jadi perhitungannya lebih sederhana,’’ timpal Darmin.
Saat ini RUU Redenominasi telah masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) dan bakal dibahas DPR tahun ini. Jika disetujui, mulai 2014 bank sentral akan menerbitkan dua mata uang yang sama dengan mata uang beredar saat ini. Hanya, ada yang tiga angka nol di belakang akan dihilangkan.
Misalnya mata uang pecahan Rp100.000 bergambar proklamator Soekarno-Hatta, nanti diterbitkan dalam tampilan yang sama, hanya tulisannya menjadi Rp100.
Dukungan atas redenominasi rupiah juga datang dari dunia perbankan. Ketua Persatuan Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, redenominasi sangat bermanfaat untuk menyederhanakan nominal transaksi dunia perbankan. ‘’Dari sisi praktis, struk pembelian saat belanja akan lebih sederhana karena berkurang tiga digit,’’ ujarnya.
Dukungan serupa disampaikan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito. Menurut dia, redenominasi akan membuat perdagangan saham di lantai bursa berjalan lebih efisien.
Ia menyebut, di BEI terjadi lebih dari 120 ribu transaksi senilai Rp4 triliun per hari. ‘’Kalau nominalnya berkurang tiga nol, maka akan lebih efisien,’’ katanya.
BEI siap menerapkan mata uang baru hasil redenominasi di pasar modal jika proses legislasi RUU rampung dan telah diumumkan secara resmi pemberlakuannya. ‘
'’Kami selalu mendukung dan siap sepenuhnya bila memang sudah ada kepastian dari pemerintah. Mulai tahun depan (2014) tidak masalah. Tinggal disesuaikan dari segi teknis dan bisa diterapkan kapan saja,’’ tambahnya.
Yang jelas, lanjut dia, ada penyesuaian teknis yang mesti dilakukan. Nanti hanya perlu penyesuaian di level sistem teknologi informasi (TI) berupa penghilangan tiga digit di depan koma.
Karena penyesuaian hanya terjadi di level TI, Ito meyakini nanti tidak akan terjadi kendala dan gangguan yang berarti manakala sistem redenominasi tersebut benar-benar diterapkan di lantai perdagangan bursa saham domestik.
Meski demikian, ada pula suara kontra terhadap redenominasi. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Perdagangan, Distribusi, dan Logistik Natsir Mansyur mengatakan, redenominasi bisa menyulitkan dunia usaha karena harus menyesuaikan berbagai perhitungan maupun harga baru yang harus bisa diterima oleh konsumen.
‘’Sekarang ini dunia usaha sedang mengupayakan efisiensi besar-besaran untuk meningkatkan daya saing, jangan diganggu dulu dengan hal-hal lain,’’ jelasnya.
Dradjad menambahkan, elemen terpenting dari tahapan redenominasi adalah sosialisasi, baik kepada masyarakat, aparat pemerintahan, pelaku usaha, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang nanti akan duduk bersama pemerintah membahas undang-undangnya. ‘’Pelaksanaannya harus pelan-pelan agar semua bisa menyesuaikan,’’ ujarnya.
Seperti diwartakan, negara yang sukses menerapkan redenominasi adalah Turki, Rumania, Polandia, dan Ukraina. Turki meredenominasi mata uang lira secara bertahap selama 7 tahun yang dimulai sejak 2005. Setelah redenominasi, semua uang lama Turki dikonversi menjadi lira baru.
Sedangkan negara-negara yang gagal menerapkan redenominasi antara lain Rusia, Argentina, Zimbabwe, Korea Utara, dan Brazil.
Namun belakangan, Brazil sukses melakukan redenominasi pada 1994. Negara-negara tersebut tidak sukses memberlakukan redenominasi lantaran kondisi perekonomiannya tidak stabil dan memiliki inflasi tinggi.
Korea Utara pada akhir 2009 melakukan redenominasi 100 won menjadi 1 won. Namun, saat warga hendak mengganti uang lama won ke uang baru, stok uang baru tidak tersedia. Brazil mengalami kegagalan melakukan redenominasi pada 1986-1989.
Saat Negeri Samba itu meyederhanakan mata uangnya, kurs terhadap dolar AS justru terdepresiasi secara tajam. Kegagalan ini disebabkan pemerintah Brazil tidak mampu mengelola inflasi yang pada waktu itu mencapai 500 persen per tahun.
Rendahnya kepercayaan terhadap pemerintah juga menjadi pangkal masalah kegagalan redenominasi di Brazil. Pada 1986, negeri di Amerika Selatan itu masih dilanda konflik politik dan instabilitas pemerintahan yang mengikis kepastian berusaha. Brasil akhirnya berhasil menerapkan redenominasi pada 1994.
Kombinasi sukses memangkas inflasi dan masuknya modal asing yang meningkatkan cadangan devisa merupakan faktor terpenting keberhasilan redenominasi di Brazil.
Artikel Terkait