Berkelanalah ke planet Saturnus dan lanjutkan perjalanan menuju
satelitnya yang paling populer, Titan. Inilah satelit Saturnus terbesar
di antara lebih dari 60 lainnya, namun juga paling misterius. Jika
pesawat anda memilih bandara di Titan sebagai tujuan akhir penerbangan,
hingga jarak beberapa ribu kilometer dari Titan anda takkan dapat
menyaksikan keelokan permukaannya.
Jejak aliran lava dingin yang teramati
Cassini dalam kombinasi citra radar dan VIMS. Lava dingin mengalir
sejauh 80 km lebih dari kawah gunung berapi dingin yang memuntahkannya
(kiri bawah). Kredit : LeCorre dkk
Semua terbungkus selimut karbondioksida tebal yang pekat dengan warna
kuning kecoklatan, seakan melindungi permukaannya terhadap segala
gangguan visual dari luar, termasuk sorot mata manusia. Maka berterima
kasihlah kepada misi antariksa Cassini–Huygens, proyek kolaborasi NASA
dengan partnernya di Eropa yakni ESA dan ASI (Italia), yang diluncurkan
tahun 1997 dan tiba di Saturnus pada tahun 2004. Sebab lewat misi
antariksa tak berawak termahal sepanjang tiga dekade terakhir inilah
Saturnus dan juga Titan perlahan–lahan mulai menyibakkan diri.
Sejak kedatangannya, Cassini sudah menjalani lebih dari 60 kali penerbangan lintas (
flyby)
di Titan dan sukses mendaratkan kapsul Huygens ke permukaan satelit
yang dalam perspektif keplanetan ukuannya 1,5 kali lebih besar dari
Bulan dan hanya bisa dikalahkan Ganymede di Jupiter. Berbeda dengan
tebakan semula, permukaan Titan ternyata padat, penuh batuan berserakan
dan perbukitan. Namun berbeda dengan Bumi, batuan Titan adalah bekuan
senyawa–senyawa ringan yang didominasi metana dalam lingkungan bersuhu
–182° C. Huygens memperlihatkan “kering”nya cuaca Titan sepanjang ratus
tahun terakhir dengan udara berasap hidrokarbon pengap mirip udara
Jakarta yang polutif. Namun suatu saat di masa silam, dalam rentang
waktu sangat singkat, cuaca berubah dramatis dengan turunnya hujan badai
metana teramat deras secara global. Hujan metana ini mengukir topografi
Titan, sehingga alur–alur lembah, sungai dan danau terisi kembali oleh
metana cair.
Apa yang menggerakkan metana sehingga bersirkulasi di Titan sebagai
padatan (di batuan), cairan (di sungai/lembah) dan gas (di atmosfer)
mengundang pertanyaan para astronom khususnya dalam lima tahun terakhir.
Massa metana di Titan diindikasikan 2 x 10
17 kg, namun perlu
dicatat bahwa metana di atmosfer atas Titan selalu terpecah–belah oleh
sinar Matahari, sehingga dibutuhkan pasokan metana kontinu untuk menjaga
stabilitas atmosfer sekaligus menggerakkan cuaca. Spekulasi vulkanisme
dingin (
cryovolcanism) sebagai tenaga penggeraknya pun merebak.
Karena dengan jauhnya lingkungan Saturnus terhadap Matahari dan
komposisi dominan penyusunnya, hanya vulkanisme jenis ini dengan dengan
aliran magma model titik–panas (
hotspot) yang mungkin eksis, bukan model lempeng tektonik. Apalagi instrumen radar dan VIMS (
Visual Infrared Mapping Spectrometer)
Cassini berulang kali menangkap bentuk–bentuk unik mirip kerucut, kawah
maupun aliran yang sangat kaya metana di permukaan Titan.
Tortola Facula, salah satu kandidat kerucut produk vulkanisme dingin di Titan. Kredit : LeCorre dkk
Tortola Facula adalah kerucut yang dilihat Cassini saat
flyby
pertama pada Oktober 2004. Kerucut tersebut diduga merupakan gunung
bergaris tengah 30 km dengan bentuk terelongasi ke barat. LeCorre dkk
(2008) memperhitungkan, jika aktif, aktivitas gunung ini mampu memasok
10
13 kg metana dengan asumsi dapur magma pemasok metana beku
yang menyublim menjadi gas di gunung ini tebalnya 5 km. Jumlah ini
terlalu kecil dibandingkan massa metana di atmosfer Titan dan dibutuhkan
sedikitnya 20.000 gunung berapi dingin sejenis Tortola Facula agar bisa
mempertahankan stabilitas atmosfer Titan. Meski Cassini baru sanggup
memetakan sebagian kecil permukaan Titan, namun 20.000 gunung mirip
Tortola Facula cukup banyak jumlahnya sehingga seharusnya bentuk kerucut
sejenis sering dijumpai Cassini. Sementara realitasnya tidak demikian.
Kawasan thui region, diabadikan dari jarak
75.000 km. Gumpalan putih cerah di bagian bawah adalah jejak vulkanisme
dingin kawasan ini, yang kemungkinan berbentuk erupsi retakan. Kredit :
LeCorre dkk
Thui region dan
Hotei region adalah dua kawasan
Titan lainnya yang diindikasikan mengalami aktivitas vulkanisme dingin.
Berbeda dengan Tortola Facula, Thui dan Hotei melingkupi area yang cukup
luas sehingga vulkanisme di sini mungkin berupa erupsi retakan seperti
bisa kita dijumpai di Islandia maupun Hijaz di Bumi. Dengan asumsi dapur
magmanya menyerupai Tortola Facula, LeCorre dkk memperhitungkan Thui
region mampu memasok 4.1017 kg metana atau setara dengan massa metana di
atmosfer Titan. Demikian pula Hotei region.
Sotra Facula adalah kandidat gunung berapi dingin lainnya di Titan, yang diungkap Randolph Kirk dkk dari
United States Geological Survey (USGS)
Astrogeology Science Center.
Mereka mereproduksi citra radar untuk menghasilkan bentuk tiga dimensi
Sotra Facula, yang memperlihatkan dua kerucut setinggi lebih dari 1.000
meter dari dasar dengan kawah dalam ditengahnya dan jejak aliran yang
memencar menjari mirip kipas aluvial di Bumi. Meski spektakuler, Sotra
Facula diduga memasok metana dalam kuantitas yang tak jauh berbeda
dengan Tortola Facula.
Topografi Sotra Facula sekaligus bisa menjelaskan bagaimana kubah
Tortola Facula bisa eksis di Titan. Vulkanisme dingin pada umumnya
mengekstrusikan magma dingin berupa uap air dan gas–gas volatil yang
sulit untuk mengendap begitu erupsi terjadi, seperti di Enceladus dan
Triton. Sehingga vulkanisme dingin tidak diikuti pembentukan kerucut
gunung. Namun di Titan situasinya sedikit berbeda. Meski juga ditenagai
gas–gas volatil (khususnya metana), vulkanisme dingin Titan mungkin
melibatkan material yang lebih padat dan berat. Sehingga ketika erupsi
terjadi, material lebih padat ini tak terbawa jauh dan hanya menumpuk di
sekitar kawah sehingga tebentuk kubah lava yang lama–kelamaan tumbuh
tinggi dan membesar.
Citra tiga dimensi Sotra Facula yang
direproduksi USGS Astrogeology Science Center untuk NASA. Nampak
cekungan dalam yang adalah kawah, dengan sisi kanannya adalah dua puncak
setinggi lebih dari 1.000 m. dari kawah ini ke latar depan nampak jejak
– jejak aliran lava dingin (metana, gas volatil dan senyawa – senyawa
yang lebih padat). Kredit : NASA
Kirk dkk menuturkan, sejauh ini tidak ada tanda–tanda apakah Sotra
Facula masih aktif di masa resen, namun mereka akan terus memantaunya
guna memastikannya. Eksistensi gunung–gunung berapi dingin di Titan
mendatangkan pertanyaan tentang asal–usul sumber panas yang menggerakkan
vulkanisme dingin ini. Jika Enceladus dipanasi oleh pemanasan
pasang–surut gravitasi akibat resonansi orbitnya dengan Dione dan Triton
dihangatkan sinar Matahari khususnya di sekitar titik subsolar, belum
jelas darimana Titan mendapatkan panasnya. Dengan dimensinya yang besar,
bahkan sedikit lebih besar dari Merkurius, Titan mungkin memiliki
sumber panas internal dari peluruhan unsur–unsur radioaktif berat dalam
lapisan inti Titan.
Sumber : http://langitselatan.com/2011/02/01/gunung-gunung-berapi-dingin-di-titan/
Artikel Terkait